Jiwar adalah salah satu produk hukum musyrikin Arab
yang berarti perlindungan atau suaka politik. Hukum ini menegaskan
bahwa seorang tokoh diantara mereka boleh menyatakan dengan bebas untuk
memberikan perlindungan kepada seseorang, sehingga siapapun tidak boleh
menyakiti orang orang itu sebagai penghormatan kepada orang yang melindungi dan pengakuan terhadap ketokohan, kehormatan dan pengaruhnya.
Ketika Rasulullah saw kembali
dari Thaif beliau tidak boleh masuk ke kota Makkah kecuali dengan
perlindungan dari seorang tokoh Musyrikin Quraisy yang bernama
Al-Muth’im bin ‘Adi. Rasulullah saw meminta perlindungan darinya dan ia
mengabulkan permintaan Nabi. Al-Muth’im bin ‘Adi dan keluarganya
kemudian mengambil perlengkapan senjata mereka dan keluar bersama
menuju Masjid Haram. Setelah sampai di Masjid, ia mengutus orang untuk
meminta Rasulullah saw segera masuk ke kota Makkah. Rasulullah saw pun
memasuki kota Makkah, lalu menuju Masjid Haram, thawaf di Ka’bah dan
melakukan shalat, kemudian kembali ke rumahnya.[1] Diriwayatkan bahwa
Abu Jahal sempat bertanya kepada Al-Muth’im bin ‘Adi:
أَمُجِيْرٌ أَنْتَ أَمْ مُتَابِعٌ - مُسْلِمٌ؟
قال: بَلْ مُجِيْرٌ.
قال : قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتَ.
Abu Jahal: “Engkau pemberi jiwar ataukah pengikut Muhammad (muslim)?”
Al-Muth’im : “Aku pemberi jiwar.”
Abu Jahal : “Kami melindungi siapapun yang engkau lindungi.”[2]
Pembelaan Al-Muth’im bin ‘Adi
ini amat berkesan di hati Rasulullah saw, sehingga ketika perang Badar selesai dan Rasulullah saw telah memutuskan perlakuan terhadap tawanan
perang Badar, beliau bersabda:
لَوْ كَانَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِيٍّ حَيًّا، ثُمّ كَلَّمَنِي فِي هَؤُلَاءِ النَّتْنَى، لَتَرَكْتُهُمْ لَهُ.
Seandainya Al-Muth’im bin ‘Adi
masih hidup kemudian berbicara kepadaku tentang tawanan perang yang
buruk ini, pasti akan kubebaskan mereka untuknya.[3]
Peristiwa perlindungan oleh
Al-Muth’im ini terjadi setelah bapa saudara Rasulullah saw - Abu Thalib -
wafat. Sebelum itu, Rasulullah saw dengan suka rela menerima
perlindungan dari Abu Thalib yang sampai akhir hayatnya tidak masuk Islam. Ketika Abu Thalib juga memberikan perlindungan kepada Salamah bin ‘Abdil Asad ra sekelompok orang dari Bani Makhzum datang kepadanya: “Wahai Abu Thalib, engkau telah melindungi anak saudara laki-lakimu Muhammad, mengapa kini engkau lindungi orang
ini dari kami?” Abu Thalib menjawab: “Ia telah meminta perlindungan
kepadaku, dan ia adalah anak saudara perempuanku. Bila aku tidak
melindungi anak saudara perempuanku, maka aku juga tak akan melindungi
anak saudara laki-lakiku.”
Pada saat Abu Bakar Ash-Shiddiq
ra hendak berhijrah ke Habasyah menyusul saudara-saudaranya tercinta
yang telah lebih dahulu hijrah, seorang tokoh musyrikin yang bernama
Ibnu Ad-Daghannah menemuinya dan memberikan perlindungan kepadanya sambil berkata: “Orang sepertimu tidak boleh keluar dan dikeluarkan dari Makkah.”
Hatta Umar Al-Faruq pun
mendapat perlindungan dari seorang musyrik bernama Al-‘Ash bin Wail
As-Sahmi ketika Quraisy telah mengetahui keislamannya.[4]
Betapa pentingnya bagi seorang da’i untuk memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya, atau dengan orang-orang
di sekitarnya – meskipun kafir – yang dapat membelanya, dan pembelaan
ini bermanfaat bagi da’wahnya. Tidaklah mungkin Rasulullah saw
mendapatkan perlindungan dari Abu Thalib, kalau beliau tidak menjaga
hubungan baik dengan bapa saudaranya yang musyrik itu. Juga tidaklah mungkin
Al-Muth’im bin ‘Adi bersedia memberikan perlindungannya kepada Rasulullah saw kalau tidak ada muamalah yang baik antara Rasulullah saw dengannya.
Tidaklah penting bagi seorang
da’i untuk mengetahui apakah pembelaan itu karena faktor kekeluargaan,
kesukuan, pertemanan, ataukah sebab lainnya. Yang jelas perlindungan
dan dukungan ini bermanfaat bagi sang da’i dan secara otomatis menjadi
maslahat bagi gerak da’wahnya. Begitu pula betapa pentingnya sebuah
jamaah da’wah memiliki hubungan muamalah yang baik dengan berbagai
organisasi dan kelompok masyarakat terutama di dalam negeri. Dengan
muamalah yang baik ini jamaah dapat lebih leluasa bergerak
merealisasikan agenda da’wahnya dan mendapatkan pembelaan dari berbagai pihak yang telah merasakan husnul muamalahnya.
Al-Quran sendiri mengisyaratkan
peranan kabilah atau keluarga, meskipun kafir, dalam melindungi da’i dari
ancaman musuh seperti dalam kisah Nabi Syuaib as:
قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا
نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَاكَ فِينَا ضَعِيفًا
وَلَوْلَا رَهْطُكَ لَرَجَمْنَاكَ وَمَا أَنْتَ عَلَيْنَا بِعَزِيزٍ
(هود:91)
Mereka berkata: "Hai Syu'aib,
kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan
sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara
kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam
kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami."
(Hud: 91).
Syaikh Abdurahman bin Nashir As-Sa’di, seorang ulama Saudi Arabia, dalam menjelaskan ayat tersebut mengatakan:
أَنَّ
اللهَ يَدْفَعُ عَنِ الْمُؤْمِنِيْنَ بِأَسْبَابٍ كَثِيْرَةٍ قَدْ
يَعْلَمُوْنَ بَعْضَهَا وَقَدْ لاَ يَعْلَمُوْنَ شَيْئًا مِنْهَا
وَرُبَّمَا دَفَعَ عَنْهُمْ بِسَبَبِ قَبِيْلَتِهِمْ أَوْ أَهْلِ
وَطَنِهِمُ الْكُفَّارِ كَمَا دَفَعَ اللهُ عَنْ شُعَيْبٍ رَجْمَ قَوْمِهِ
بِسَبَبِ رَهْطِهِ وَأَنَّ هَذِهِ الرَّوَابِطَ الَّتِيْ يَحْصُلُ بِهَا
الدَّفْعُ عَنِ الإِسْلاَمِ وَالْمُسْلِمِيْنَ لاَ بَأْسَ بِالسَّعْيِ
فِيْهَا بَلْ رُبَّمَا تَعَيَّنَ ذَلِكَ لِأَنَّ الإِصْلاَحَ مَطْلُوْبٌ
عَلَى حَسَبِ القُدْرَةِ وَالإِمْكَانِ.
"Allah swt membela orang-orang yang beriman dengan berbagai cara, ada yang mereka ketahui dan ada pula yang tidak mereka ketahui. Bisa jadi Allah membela orang-orang
yang beriman dengan kabilah atau warga sekampung mereka yang kafir
sekalipun sebagaimana Allah membela Nabi Syuaib as dari ancaman rajam
dengan wibawa keluarganya. Ikatan-ikatan yang dapat membantu membelaIslam
dan kaum muslimin seperti ini boleh diusahakan bahkan dalam keadaan
tertentu menjadi wajib diwujudkan, karena ishlah (perbaikan) itu wajib
dilakukan sesuai kemampuan dan kemungkinan.”[5]
Tentang Rasulullah saw, Allah swt berfirman:
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيماً فآوَى (الضحى: 6)
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? (Ad-Dhuha: 6).
Syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsirnya:
أَيْ آوَاكَ بِأَنْ ضَمَّكَ
إِلَى عَمِّكَ أَبِي طَالِبٍ. وَذَلِكَ بِسَبَبِ الْعَوَاطِفِ
الْعَصَبِيَّةِ، وَالأَوَاصِرِ النَّسَبِيَّةِ، وَلاَ صِلَةَ لَهُ
بِالدِّيْنِ أَلْبَتَّة. فَكَوْنُهُ جَلَّ وَعَلاَ يَمْتَنُّ عَلَى
رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِإِيْوَاءِ أَبِي طَالِبٍ
لَهُ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ اللهَ قَدْ يُنْعِمُ عَلَى الْمُتَمَسِّكِ
بِدِيْنِهِ بِنُصْرَةِ قَرِيْبِهِ الْكَافِرِ.
“Maksudnya: Dia memberikan
perlindungan kepadamu dengan menyerahkanmu kepada bapa saudaramu Abu Thalib.
Hal itu disebabkan oleh kasih sayang keluarga dan hubungan nasab, dan
tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama. Ketika Allah swt
memberikan ni’mat kepada rasul-Nya saw dengan perlindungan Abu Thalib,
maka dalam hal ini terdapat dalil bahwa sesungguhnya Allah swt bisa
jadi memberikan ni’mat kepadaorang yang berpegang teguh kepada agamanya dengan pertolongan kerabatnya yang kafir.”
Setelah menyebutkan ayat-ayat lain tentang dukungan keluarga kepada para nabi, Syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithi melanjutkan:
وَهَذِهِ الآَيَاتُ
الْقُرْآنِيَّةُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُسْلِمِيْنَ قَدْ تَنْفَعُهُمْ
عَصَبِيَّةُ إِخْوَانِهِمُ الْكَافِرِيْنَ.
وَلَمَّا
نَاصَرَ بَنُو الْمُطَّلِبِ بْنُ عَبْدِ مَنَافٍ بَنِي هَاشِمٍ وَلَمْ
يُنَاصِرْهُمْ بَنُو عَبْدِ شَمْسٍ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ وَبَنُوْ نَوْفَل
بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ عَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِبَنِي الْمُطَّلِبِ تِلْكَ الْمُنَاصَرَةَ الَّتِي هِيَ عَصَبِيَّةٌ
نَسَبِيَّةٌ لاَ صِلَةَ لَهَا بِالدِّيْنِ. فَأَعْطَاهُمْ مِنْ خُمُسِ
الْغَنِيْمَةِ مَعَ بَنِي هَاشِمٍ، وَقَالَ: « إِنَّا وَبَنِي
الْمُطَّلِبِ لَمْ نَفْتَرِقْ فِي جَاهِلِيَّةٍ وَلاَ إِسْلاَمٍ »
وَمَنَعَ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ وَبَنِي نَوْفَل مِنْ خُمُسِ الْغَنِيْمَةِ،
مَعَ أَنَّ الْجَمِيْعَ أَوْلاَدُ عَبْدِ مَنَافٍ بْنِ قُصَيٍّ.
“Ayat-ayat Al-Quran ini
menunjukkan bahwa ashabiyyah sanak saudara yang kafir bisa bermanfaat
bagi kaum muslimin. Pada saat Banu Al-Muthalib bin Abdi Manaf membela
Banu Hasyim, sedangkan Banu Abdi Syams bin Abdi Manaf serta Banu Naufal
bin Abdi Manaf tidak membantu Banu Hasyim, Rasulullah saw mengetahui
bahwa pembelaan tersebut adalah semata ashabiyyah keturunan dan tidak
ada hubungannya dengan agama. Maka Rasulullah saw memberikan kepada
Bani Al-Muthalib bagian dari seperlima ghanimah[6] bersama Banu Hasyim,
dan beliau bersabda: “Kami (Banu Hasyim) dan Banu Al-Muthalib tidak
pernah bercerai baik ketika jahiliyyah maupun Islam .”Dan beliau tidak
memberikan dari seperlima ghanimah tersebut kepada Bani Abdi Syams
maupun Bani Naufal meskipun keduanya adalah keturunan Abdu Manaf bin
Qushay.”[7]
Sikap Aktif Mengurangi Kerusakan adalah Tuntutan Syariat
Dr. Abdul Karim Zaidan, salah
seorang ulama dan da’i berkebangsaan Irak, dalam makalahnya berjudul
“Demokrasi dan Keikutsertaan Ummat Islam dalam Pemilu” yang disampaikan
pada Mu’tamar Rabithah ‘Alam Islami di Makkah 21 Syawwal 1422 H,
mengambil kesimpulan hukum dari peristiwa jiwar tersebut bahwa seorang
muslim diperbolehkan mengambil produk hukum atau peraturan dari sistem
yang tidak islami yang bermanfaat bagi da’wah islamiyyah:
أَمَّا الْحِكْمَةُ فِي جَوَازِ
أَخْذِ الْمُسْلِمِ بِجِوَارِ الْكَافِرِ فَهِيَ دَفْعُ الأَذَى
وَالْهَلاَكِ عَنِ الْمُسْلِمِ بِطَرِيْقَةٍ لاَ تَخْدِشُ مَعَانِيَ
الإِسْلاَمِ وَأَحْكَامَهُ. وَالدَّلاَلَةُ فِي هَذَا الْجَوَازِ، جَوَازُ
الْقِيَاسِ عَلَيْهِ بِالأَخْذِ بِجُزْئِيَّةٍ مِنْ نِظَامِ الْكُفَّارِ،
أَيْ يَأْخُذُ الْمُسْلِمُ وَهُوَ فِي الدَّوْلَةِ الْكَافِرَةِ
بِجُزْئِيَّةٍ مِنْ قَانُوْنِهِمْ إِذَا كَانَ فِي الأَخْذِ بِهَذِهِ
الْجُزْئِيَّةِ مَصْلَحَةٌ أَوْ دَرْءُ مَفْسَدَةٍ لَهُ وَلِغَيْرِهِ مِنْ
فِئَةِ الْمُسْلِمِيْنَ الْمُقِيْمِيْنَ فِي هَذِهِ الدَّوْلَةِ.
“Hikmah dibolehkannya mengambil
perlindungan dari orang kafir adalah untuk menolak bahaya dan
kehancuran yang mengancam seorang muslim dengan cara yang tidak
mencoreng nilai dan hukum Islam. Hal ini dapat dijadikan dasar bagi
dibolehkannya mengambil aspek tertentu dari nizham (sistem) kekufuran
yang bermanfaat bagi ummat Islam. Artinya, seorang muslim yang tinggal
di negara kafir diperbolehkan mengambil sebagian produk undang-undang
mereka jika hal itu membawa suatu maslahat atau dapat menolak suatu
bahaya dan ancaman baginya atau bagi ummat Islam yang tinggal di sana.”
Lebih jauh lagi, Dr. Abdul
Karim Zaidan menghubungkan masalah jiwar ini dengan keterlibatan
seorang muslim yang tinggal di negara-negara barat dalam pemilu:
وَبِنَاءً عَلَى هَذَا، يَجُوْزُ
لِلْمُسْلِمِ وَهُوَ فِي هَذِهِ الدَّوْلَةِ غَيْرِ الإِسْلاَمِيَّةِ
إِذَا كَانَ لَهُ حَقُّ الاِنْتِخَابِ ـ اِنْتِخَابِ أَعْضَاءِ
الْبَرْلَمَانِ ـ أَنْ يَسْتَعْمِلَ حَقَّهُ بِالْمُشَارَكَةِ فِي
الاِنْتِخَابِ فَيَنْتَخِبُ مِنَ الْكُفَّارِ لِعُضْوِيَّةِ
الْبَرْلَمَانِ مَنْ يُؤْمَلُ مِنْهُ مَصْلَحَةٌ أَوْ دَرْءُ مَفْسَدَةٍ
لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ دَاخِلَ هَذِهِ الدَّوْلَةِ
أَوْ خَارِجَهَا أَوْ يُؤْمَلُ مِنْهُ عَلَى الأَقَلِّ الْحِيَادُ فِي
قَضَايَا الْمُسْلِمِيْنَ، لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَتَيَسَّرْ تَحْقِيْقُ
الْمَصْلَحَةِ أَوْ دَرْءُ الْمَفْسَدَةِ، فَعَلَى الأَقَلِّ السَّعْيُ
لِتَقْلِيْلِ الْمَفْسَدَةِ، وَمِنْ صُوَرِ تَقْلِيْلِ الْمَفْسَدَةِ
اِنْتِخَابُ مَنْ يُؤْمَلُ مِنْهُ ذَلِكَ، وَأَنْ لاَ بَدِيْلَ عَنْهُ
إِلاَّ اِنْتِخَابُ الأَسْوَأِ وَالأَكْثَرِ ضَرَراً وَمَفْسَدَة ً
لِلْمُسْلِمِيْنَ، أَوْ تَرْكُ الْمُشَارَكَةِ فِي الاِنْتِخَابَاتِ،
وَلَيْسَ فِي هَذَا التَّرْكِ جُهْدٌ يُقَدِّمُهُ الْمُسْلِمُ لِجَلْبِ
الْخَيْرِ وَدَفْعِ الشَّرِّ أَوْ تَقْلِيْلِهِ عَنِ الْمُسْلِمِيْنَ
قَدْرَ الإِمْكَانِ وَلَيْسَ مِثْلُ هَذَا الْمَوْقِفِ السَّلْبِيِّ
بِالْمَوْقِفِ الْمَرْغُوْبِ فِيْهِ شَرْعاً، إِنْ لَمْ نَقُلْ غََيْرَ
الْجَائِزِ شَرْعاً .
“Dengan dasar ini, maka seorang
muslim yang tinggal di negara-negara non muslim yang memiliki hak pilih
dalam pemilu – pemilu legislatif - diperbolehkan memilih seorang kafir
sebagai anggota parlimen yang diharapkan dapat memberi manfaat atau
menolak mafsadat baginya atau kaum muslimin yang lain di negara
tersebut atau kaum muslimin di negara lain, minimal memilih orang kafir
yang memiliki sikap al-hiyad (obyektif) terhadap problematika
kaum muslimin. Karena jika kita tidak dapat merealisasikan semua
maslahat atau menolak semua kerusakan, maka minimal adalah berusaha
mengurangi kerusakan yang diantara realisasinya adalah ikut memilih
orang yang diharapkan dapat mewujudkan hal tersebut. Apalagi jika
dianalisa bahwa kekalahannya mengakibatkan kemenangan orang yang lebih
buruk dan lebih banyak bahayanya bagi kaum muslimin. Sikap pasif atau
golput adalah sikap negatif, juga menandakan tak ada upaya mengerahkan
kemampuan untuk mengurangi mafsadat yang mengancam kaum muslimin, dan
sikap ini tentu saja tidak dianjurkan oleh syariat jika kita tidak mau
mengatakan dilarang.”[8]
Bahkan Syaikh Muhammad Ahmad
Ar-Rasyid, seorang ulama dan tokoh pergerakan yang senegara dengan Dr.
Abdul Karim Zaidan, setelah mengemukakan berbagai argumentasi dengan
tegas mewajibkan kaum muslimin di negara-negara non muslim menggunakan
hak pilihnya dalam pemilu:
وَلِذَلِكَ كُلِّهِ أَرَى،
وَبِالْمِقْدَارِ الَّذِيْ حَصَلَ لِيْ بِحَمْدِ اللهِ مِنَ
الْمَوَازِيْنِ وَالْعُلُوْمِ الشَّرْعِيَّةِ وَالْفِقْهِ الإِيْمَانِي:
أَنَّ إِدْلاَءَ الْمُسْلِمِ بِصَوْتِهِ الاِنْتِخَابِيِّ لِمُرَشَّحِي
التَّيَّارَاتِ الْمُعْتَدِلَةِ فِي الْبِلاَدِ الغَرْبِيَّةِ
النَّصْرَانِيَّةِ صَارَ فِي عِدَادِ الْوَاجِبَاتِ الإِسْلاَمِيَّةِ،
لِوُجُوْدِ مَنَافِسٍ مُتَطَرِّفٍ عَدُوٍّ لِلْإِسْلاَمِ، وَفَتْوَايَ
تَسْرِي عَلَى الأَحْوَالِ الْمُمَاثِلَةِ فِي بِلاَدِ الشَّرْقِ
الأَقْصَى البُوْذِيَّةِ أَيْضاً، وَعَلَى الْهِنْدِ وَسرِيْلاَنْكَا،
وَحَيْثُمَا يَكُوْنُ هُنَاكَ تَنَافُسٌ سِيَاسِيٌّ عَلَى هَذَا النَّمَطِ.
“Oleh karenanya berdasarkan
timbangan syariah, pemahaman ilmu-ilmu syar’i, dan fiqh imani yang saya
miliki (Alhamdulillah), saya berpendapat bahwa keikutsertaan seorang
muslim dalam pemilu untuk memberikan suara kepada calon-calon pemimpin
dari kekuatan politik yang bersikap moderat di negara-negara barat yang
Nasrani telah menjadi kewajiban menurut syariat Islam disebabkan oleh
adanya ancaman dari kekuatan-kekuatan ekstrem yang memusuhi Islam (jika
mereka menang). Dan fatwa saya ini berlaku juga untuk negara-negara
timur jauh yang beragama Budha, India dan Srilanka, dan negara manapun
yang menghadapi persaingan politik dan situasi yang sama.”[9]
Sumber :
[1] Sirah Ibnu Hisyam, Bab “Kaifa Ajara Al-Muth’im Rasulallah” (bagaimana Al-Muth’im melindungi Rasulullah saw).
[2] Ar-Rahiq Al-Makhtum,
Shafiyyur Rahman Mubarakfuri, Bab Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam
fi At-Thaif (Rasulullah SAW di Thaif).
[3] Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim,
hlm 100; Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyur Rahman Mubarakfuri, Bab
Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam fi At-Thaif.(Rasulullah SAW di
Thaif).
[4] As-Sirah An-Nabawiyyah, Muhammad Abu Syuhbah, juz 1 hlm 36, 381 & 358.
[5] Taysir Al-Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Mannan ketika membahas surat Hud ayat 91.
[6] Seperlima dari harta
rampasan perang (khumus) adalah jatah yang diberikan Allah swt untuk
Rasulullah, kerabat beliau dan pihak lain yang telah disebutkan dalam
surat Al-Anfal ayat 41.
[7] Adhwa‘ Al-Bayan, ketika beliau menafsirkan surat Hud ayat 91.