.

.

Monday, June 27, 2016

RAHSIA MAKRIFAT NABI KHAIDIR A.S BUAT NABI MUSA A.S



Teguran Allah kepada Musa

Kisah Musa dan Khaiḍir dituturkan oleh Al-Qur’an dalam Surah Al-Kahf ayat 65-82. Menurut Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab menceritakan bahwa beliau mendengar nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya pada suatu hari, Musa berdiri di khalayak Bani Israil lalu beliau ditanya, “Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, “Aku” Lalu Allah menegur Nabi Musa dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu.”

Lantas Musa pun bertanya, “Wahai Tuhanku, dimanakah aku dapat menemuinya?” Allah pun berfirman, “Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan di dalam sangkar dan sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu.” Sesungguhnya teguran Allah itu mencetuskan keinginan yang kuat dalam diri Nabi Musa untuk menemui hamba yang sholeh itu. Di samping itu, Nabi Musa juga ingin sekali mempelajari ilmu dari Hamba Allah tersebut.

Musa kemudiannya menunaikan perintah Allah itu dengan membawa ikan di dalam wadah dan berangkat bersama-sama pembantunya yang juga merupakan murid dan pembantunya, Yusya bin Nun.

Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah batu dan memutuskan untuk beristirahat sejenak karena telah menempuh perjalanan cukup jauh. Ikan yang mereka bawa di dalam wadah itu tiba-tiba meronta-ronta dan selanjutnya terjatuh ke dalam air. Allah SWT membuatkan aliran air untuk memudahkan ikan sampai ke laut. Yusya` tertegun memperhatikan kebesaran Allah menghidupkan semula ikan yang telah mati itu.

Selepas menyaksikan peristiwa yang sungguh menakjubkan dan luar biasa itu, Yusya’ tertidur dan ketika terjaga, beliau lupa untuk menceritakannya kepada Musa Mereka kemudiannya meneruskan lagi perjalanan siang dan malamnya dan pada keesokan paginya,
“     Nabi Musa berkata kepada Yusya` “Bawalah ke mari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Surah Al-Kahfi : 62)     ”

Ibn `Abbas berkata, “Nabi Musa sebenarnya tidak merasa letih sehingga baginda melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah supaya menemui hamba-Nya yang lebih berilmu itu.” Yusya’ berkata kepada Nabi Musa,
“     “Tahukah guru bahwa ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak lain yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu kembali masuk kedalam laut itu dengan cara yang amat aneh.” (Surah Al-Kahfi : 63)     ”

Musa segera teringat sesuatu, bahwa mereka sebenarnya sudah menemukan tempat pertemuan dengan hamba Allah yang sedang dicarinya tersebut. Kini, kedua-dua mereka berbalik arah untuk kembali ke tempat tersebut yaitu di batu yang menjadi tempat persinggahan mereka sebelumnya, tempat bertemunya dua buah lautan.
“     Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Surah Al-Kahfi : 64)     ”

Terdapat banyak pendapat tentang tempat pertemuan Musa dengan Nabi Khaidir as. Ada yang mengatakan bahwa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi dengan Parsia yaitu tempat bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia. Pendapat yang lain mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat pertemuan antara Laut Roma dengan Lautan Atlantik. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang bernama Ras Muhammad yaitu antara Teluk Suez dengan Teluk Aqabah di Laut Merah.


Setibanya mereka di tempat yang dituju, mereka melihat seorang hamba Allah yang berjubah putih bersih. Nabi Musa as pun mengucapkan salam kepadanya. Nabi Khaidir menjawab salamnya dan bertanya, “Dari mana datangnya kesejahteraan di bumi yang tidak mempunyai kesejahteraan? Siapakah kamu?” Jawab Musa, “Aku adalah Musa.” nabi Khaidir as bertanya lagi, “Musa dari Bani Isra’il?” Nabi Musa as menjawab, “Ya. Aku datang menemui tuan supaya tuan dapat mengajarkan sebagian ilmu dan kebijaksanaan yang telah diajarkan kepada tuan.”

Nabi Khaidir as menegaskan, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersama-samaku.” (Surah Al-Kahfi : 67) “Wahai Musa, sesungguhnya ilmu yang kumiliki ini ialah sebahagian daripada ilmu karunia dari Allah yang diajarkan kepadaku tetapi tidak diajarkan kepadamu wahai Musa. Kamu juga memiliki ilmu yang diajarkan kepadamu yang tidak kuketahuinya.”
“     Nabi Musa as berkata, “Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun.” (Surah Al-Kahfi : 69)     ”
“     Dia (Khaidir) selanjutnya mengingatkan, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Surah Al-Kahfi : 70)     ”

Perjalanan Nabi Khaidir as dan Nabi Musa as

Demikianlah seterusnya Nabi Musa as mengikuti Nabi Khaidir as dan terjadilah beberapa peristiwa yang menguji diri Nabi Musa as yang telah berjanji bahwa dia tidak akan bertanya sebab sesuatu tindakan diambil oleh Nabi Khaidir as. Setiap tindakan Nabi Khaidir a.s. itu dianggap aneh dan membuat Nabi Musa as terperanjat.

Kejadian yang pertama adalah saat Nabi Khaidir menghancurkan perahu yang ditumpangi mereka bersama. Nabi Musa as tidak kuasa untuk menahan hatinya untuk bertanya kepada Nabi Khaidir as. Nabi Khaidir as memperingatkan janji Nabi Musa as, dan akhirnya Nabi Musa as meminta maaf karena kalancangannya mengingkari janjinya untuk tidak bertanya terhadap setiap tindakan Nabi Khaidir as.

Selanjutnya setelah mereka sampai di suatu daratan, Nabi Khidir membunuh seorang anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannnya. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Nabi Khidir tersebut membuat Nabi Musa tak kuasa untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi Khidir. Nabi Khidir kembali mengingatkan janji Nabi Musa, dan beliau diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Khidir, jika masih bertanya lagi maka Nabi Musa harus rela untuk tidak mengikuti perjalanan bersama Nabi Khidir.

Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai disuatu wilayah perumahan. Mereka kelelahan dan hendak meminta bantuan kepada penduduk sekitar. Namun sikap penduduk sekitar tidak bersahabat dan tidak mau menerima kehadiran mereka, hal ini membuat Nabi Musa as merasa kesal terhadap penduduk itu. Setelah dikecewakan oleh penduduk, Nabi Khaidir as malah menyuruh Nabi Musa as untuk bersama-samanya memperbaiki tembok suatu rumah yang rusak di daerah tersebut. Nabi Musa as tidak kuasa kembali untuk bertanya terhadap sikap Nabi Khaidir as ini yang membantu memperbaiki tembok rumah setelah penduduk menzalimi mereka. Akhirnya Nabi Khaidir as menegaskan pada Nabi Musa as bahwa beliau tidak dapat menerima Nabi Musa as untuk menjadi muridnya dan Nabi Musa as tidak diperkenankan untuk terus melanjutkan perjalannya bersama dengan Nabi Khaidir as.

Selanjutnya Nabi Khaidir as menjelaskan mengapa beliau melakukan hal-hal yang membuat Nabi Musa as bertanya. Kejadian pertama adalah Nabi Khaidir as menghancurkan perahu yang mereka tumpangi karena perahu itu dimiliki oleh seorang yang miskin dan di daerah itu tinggallah seorang raja yang suka merampas perahu miliki rakyatnya.

Kejadian yang kedua, Nabi Khaidir as menjelaskan bahwa beliau membunuh seorang anak karena kedua orang tuanya adalah pasangan yang beriman dan jika anak ini menjadi dewasa dapat mendorong bapak dan ibunya menjadi orang yang sesat dan kufur. Kematian anak ini digantikan dengan anak yang sholeh dan lebih mengasihi kedua bapak-ibunya hingga ke anak cucunya.

Kejadian yang ketiga (terakhir), Nabi Khaidir as menjelaskan bahwa rumah yang dinding diperbaiki itu adalah milik dua orang kakak beradik yatim yang tinggal di kota tersebut. Didalam rumah tersebut tersimpan harta benda yang ditujukan untuk mereka berdua. Ayah kedua kakak beradik ini telah meninggal dunia dan merupakan seorang yang sholeh. Jika tembok rumah tersebut runtuh, maka bisa dipastikan bahwa harta yang tersimpan tersebut akan ditemukan oleh orang-orang di kota itu yang sebagian besar masih menyembah berhala, sedangkan kedua kakak beradik tersebut masih cukup kecil untuk dapat mengelola peninggalan harta ayahnya. Dipercaya tempat tersebut berada di negeri Antakya, Turki.

Akhirnya Nabi Musa as. sadar hikmah dari setiap perbuatan yang telah dikerjakan Nabi Khaidir as. Akhirya mengerti pula Nabi Musa as dan merasa amat bersyukur karena telah dipertemukan oleh Allah dengan seorang hamba Allah yang sholeh yang dapat mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak dapat dituntut atau dipelajari yaitu ilmu ladunni. Ilmu ini diberikan oleh Allah SWT kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Nabi Khaidir as yang bertindak sebagai seorang guru banyak memberikan nasehat dan menyampaikan ilmu seperti yang diminta oleh Nabi Musa as, dan Nabi Musa as menerima nasehat tersebut dengan penuh rasa gembira.

Saat mereka didalam perahu yang ditumpangi, datanglah seekor burung lalu hinggap di ujung perahu itu. Burung itu meneguk air dengan paruhnya, lalu Nabi Khaidir as berkata, “Ilmuku dan ilmumu tidak berbanding dengan ilmu Allah, Ilmu Allah tidak akan pernah berkurang seperti air laut ini karena diteguk sedikit airnya oleh burung ini.”

Sebelum berpisah, Nabi Khaidir as berpesan kepada Musa: “Jadilah kamu seorang yang tersenyum dan bukannya orang yang tertawa. Teruskanlah berdakwah dan janganlah berjalan tanpa tujuan. Janganlah pula apabila kamu melakukan kekhilafan, berputus asa dengan kekhilafan yang telah dilakukan itu. Menangislah disebabkan kekhilafan yang kamu lakukan, wahai Ibnu `Imran.”

Hikmah kisah Nabi Khaidir as

Dari kisah Nabi Khaidir as ini kita dapat mengambil pelajaran penting. Diantaranya adalah Ilmu merupakan karunia Allah SWT, tidak ada seorang manusia pun yang boleh mengklaim bahwa dirinya lebih berilmu dibanding yang lainnya. Hal ini dikarenakan ada ilmu yang merupakan anugerah dari Allah SWT yang diberikan kepada seseorang tanpa harus mempelajarinya (Ilmu Ladunni, yaitu ilmu yang dikhususkan bagi hamba-hamba Allah yang sholeh dan terpilih)

Hikmah yang kedua adalah kita perlu bersabar dan tidak terburu-buru untuk mendapatkan kebijaksanaan dari setiap peristiwa yang dialami. Hikmah ketiga adalah setiap murid harus memelihara adab dengan gurunya. Setiap murid harus bersedia mendengar penjelasan seorang guru dari awal hingga akhir sebelum nantinya dapat bertindak diluar perintah dari guru. Kisah Nabi Khaidir as ini juga menunjukan bahwa Islam memberikan kedudukan yang sangat istimewa kepada guru.

Wednesday, June 22, 2016

Nama-Nama Para Pejuang Perang Badar

 

1. Sayyiduna Muhammad Rasulullah s.a.w.
2. Abu Bakar as-Shiddiq r.a.
3. Umar bin al-Khattab r.a.
4. Utsman bin Affan r.a.
5. Ali bin Abu Tholib r.a.
6. Talhah bin ‘Ubaidillah r.a.
7. Bilal bin Rabbah r.a.
8. Hamzah bin Abdul Muttolib r.a.
9. Abdullah bin Jahsyi r.a.
10. Al-Zubair bin al-Awwam r.a.
11. Mus’ab bin Umair bin Hasyim r.a.
12. Abdur Rahman bin ‘Auf r.a.
13. Abdullah bin Mas’ud r.a.
14. Sa’ad bin Abi Waqqas r.a.
15. Abu Kabsyah al-Faris r.a.
16. Anasah al-Habsyi r.a.
17. Zaid bin Harithah al-Kalbi r.a.
18. Marthad bin Abi Marthad al-Ghanawi r.a.
19. Abu Marthad al-Ghanawi r.a.
20. Al-Husain bin al-Harith bin Abdul Muttolib r.a.
21. ‘Ubaidah bin al-Harith bin Abdul Muttolib r.a.
22. Al-Tufail bin al-Harith bin Abdul Muttolib r.a.
23. Mistah bin Usasah bin ‘Ubbad bin Abdul Muttolib r.a.
24. Abu Huzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah r.a.
25. Subaih (maula Abi ‘Asi bin Umaiyyah) r.a.
26. Salim (maula Abu Huzaifah) r.a.
27. Sinan bin Muhsin r.a.
28. ‘Ukasyah bin Muhsin r.a.
29. Sinan bin Abi Sinan r.a.
30. Abu Sinan bin Muhsin r.a.
31. Syuja’ bin Wahab r.a.
32. ‘Utbah bin Wahab r.a.
33. Yazid bin Ruqais r.a.
34. Muhriz bin Nadhlah r.a.
35. Rabi’ah bin Aksam r.a.
36. Thaqfu bin Amir r.a.
37. Malik bin Amir r.a.
38. Mudlij bin Amir r.a.
39. Abu Makhsyi Suwaid bin Makhsyi al-To’i r.a.
40. ‘Utbah bin Ghazwan r.a.
41. Khabbab (maula ‘Utbah bin Ghazwan) r.a.
42. Hathib bin Abi Balta’ah al-Lakhmi r.a.
43. Sa’ad al-Kalbi (maula Hathib) r.a.
44. Suwaibit bin Sa’ad bin Harmalah r.a.
45. Umair bin Abi Waqqas r.a.
46. Al-Miqdad bin ‘Amru r.a.
47. Mas’ud bin Rabi’ah r.a.
48. Zus Syimalain Amru bin Amru r.a.
49. Khabbab bin al-Arat al-Tamimi r.a.
50. Amir bin Fuhairah r.a.
51. Suhaib bin Sinan r.a.
52. Abu Salamah bin Abdul Asad r.a.
53. Syammas bin Uthman r.a.
54. Al-Arqam bin Abi al-Arqam r.a.
55. Ammar bin Yasir r.a.
56. Mu’attib bin ‘Auf al-Khuza’i r.a.
57. Zaid bin al-Khattab r.a.
58. Amru bin Suraqah r.a.
59. Abdullah bin Suraqah r.a.
60. Sa’id bin Zaid bin Amru r.a.
61. Mihja bin Akk (maula Umar bin al-Khattab) r.a.
62. Waqid bin Abdullah al-Tamimi r.a.
63. Khauli bin Abi Khauli al-Ijli r.a.
64. Malik bin Abi Khauli al-Ijli r.a.
65. Amir bin Rabi’ah r.a.
66. Amir bin al-Bukair r.a.
67. Aqil bin al-Bukair r.a.
68. Khalid bin al-Bukair r.a.
69. Iyas bin al-Bukair r.a.
70. Uthman bin Maz’un r.a.
71. Qudamah bin Maz’un r.a.
72. Abdullah bin Maz’un r.a.
73. Al-Saib bin Uthman bin Maz’un r.a.
74. Ma’mar bin al-Harith r.a.
75. Khunais bin Huzafah r.a.
76. Abu Sabrah bin Abi Ruhm r.a.
77. Abdullah bin Makhramah r.a.
78. Abdullah bin Suhail bin Amru r.a.
79. Wahab bin Sa’ad bin Abi Sarah r.a.
80. Hatib bin Amru r.a.
81. Umair bin Auf r.a.
82. Sa’ad bin Khaulah r.a.
83. Abu Ubaidah Amir al-Jarah r.a.
84. Amru bin al-Harith r.a.
85. Suhail bin Wahab bin Rabi’ah r.a.
86. Safwan bin Wahab r.a.
87. Amru bin Abi Sarah bin Rabi’ah r.a.
88. Sa’ad bin Muaz r.a.
89. Amru bin Muaz r.a.
90. Al-Harith bin Aus r.a.
91. Al-Harith bin Anas r.a.
92. Sa’ad bin Zaid bin Malik r.a.
93. Salamah bin Salamah bin Waqsyi r.a.
94. ‘Ubbad bin Waqsyi r.a.
95. Salamah bin Thabit bin Waqsyi r.a.
96. Rafi’ bin Yazid bin Kurz r.a.
97. Al-Harith bin Khazamah bin ‘Adi r.a.
98. Muhammad bin Maslamah al-Khazraj r.a.
99. Salamah bin Aslam bin Harisy r.a.
100. Abul Haitham bin al-Tayyihan r.a.
101. ‘Ubaid bin Tayyihan r.a.
102. Abdullah bin Sahl r.a.
103. Qatadah bin Nu’man bin Zaid r.a.
104. Ubaid bin Aus r.a.
105. Nasr bin al-Harith bin ‘Abd r.a.
106. Mu’attib bin ‘Ubaid r.a.
107. Abdullah bin Tariq al-Ba’lawi r.a.
108. Mas’ud bin Sa’ad r.a.
109. Abu Absi Jabr bin Amru r.a.
110. Abu Burdah Hani’ bin Niyyar al-Ba’lawi r.a.
111. Asim bin Thabit bin Abi al-Aqlah r.a.
112. Mu’attib bin Qusyair bin Mulail r.a.
113. Abu Mulail bin al-Az’ar bin Zaid r.a.
114. Umair bin Mab’ad bin al-Az’ar r.a.
115. Sahl bin Hunaif bin Wahib r.a.
116. Abu Lubabah Basyir bin Abdul Munzir r.a.
117. Mubasyir bin Abdul Munzir r.a.
118. Rifa’ah bin Abdul Munzir r.a.
119. Sa’ad bin ‘Ubaid bin al-Nu’man r.a.
120. ‘Uwaim bin Sa’dah bin ‘Aisy r.a.
121. Rafi’ bin Anjadah r.a.
122. ‘Ubaidah bin Abi ‘Ubaid r.a.
123. Tha’labah bin Hatib r.a.
124. Unais bin Qatadah bin Rabi’ah r.a.
125. Ma’ni bin Adi al-Ba’lawi r.a.
126. Thabit bin Akhram al-Ba’lawi r.a.
127. Zaid bin Aslam bin Tha’labah al-Ba’lawi r.a.
128. Rib’ie bin Rafi’ al-Ba’lawi r.a.
129. Asim bin Adi al-Ba’lawi r.a.
130. Jubr bin ‘Atik r.a.
131. Malik bin Numailah al-Muzani r.a.
132. Al-Nu’man bin ‘Asr al-Ba’lawi r.a.
133. Abdullah bin Jubair r.a.
134. Asim bin Qais bin Thabit r.a.
135. Abu Dhayyah bin Thabit bin al-Nu’man r.a.
136. Abu Hayyah bin Thabit bin al-Nu’man r.a.
137. Salim bin Amir bin Thabit r.a.
138. Al-Harith bin al-Nu’man bin Umayyah r.a.
139. Khawwat bin Jubair bin al-Nu’man r.a.
140. Al-Munzir bin Muhammad bin ‘Uqbah r.a.
141. Abu ‘Uqail bin Abdullah bin Tha’labah r.a.
142. Sa’ad bin Khaithamah r.a.
143. Munzir bin Qudamah bin Arfajah r.a.
144. Tamim (maula Sa’ad bin Khaithamah) r.a.
145. Al-Harith bin Arfajah r.a.
146. Kharijah bin Zaid bin Abi Zuhair r.a.
147. Sa’ad bin al-Rabi’ bin Amru r.a.
148. Abdullah bin Rawahah r.a.
149. Khallad bin Suwaid bin Tha’labah r.a.
150. Basyir bin Sa’ad bin Tha’labah r.a.
151. Sima’ bin Sa’ad bin Tha’labah r.a.
152. Subai bin Qais bin ‘Isyah r.a.
153. ‘Ubbad bin Qais bin ‘Isyah r.a.
154. Abdullah bin Abbas r.a.
155. Yazid bin al-Harith bin Qais r.a.
156. Khubaib bin Isaf bin ‘Atabah r.a.
157. Abdullah bin Zaid bin Tha’labah r.a.
158. Huraith bin Zaid bin Tha’labah r.a.
159. Sufyan bin Bisyr bin Amru r.a.
160. Tamim bin Ya’ar bin Qais r.a.
161. Abdullah bin Umair r.a.
162. Zaid bin al-Marini bin Qais r.a.
163. Abdullah bin ‘Urfutah r.a.
164. Abdullah bin Rabi’ bin Qais r.a.
165. Abdullah bin Abdullah bin Ubai r.a.
166. Aus bin Khauli bin Abdullah r.a.
167. Zaid bin Wadi’ah bin Amru r.a.
168. ‘Uqbah bin Wahab bin Kaladah r.a.
169. Rifa’ah bin Amru bin Amru bin Zaid r.a.
170. Amir bin Salamah r.a.
171. Abu Khamishah Ma’bad bin Ubbad r.a.
172. Amir bin al-Bukair r.a.
173. Naufal bin Abdullah bin Nadhlah r.a.
174. ‘Utban bin Malik bin Amru bin al-Ajlan r.a.
175. ‘Ubadah bin al-Somit r.a.
176. Aus bin al-Somit r.a.
177. Al-Nu’man bin Malik bin Tha’labah r.a.
178. Thabit bin Huzal bin Amru bin Qarbus r.a.
179. Malik bin Dukhsyum bin Mirdhakhah r.a.
180. Al-Rabi’ bin Iyas bin Amru bin Ghanam r.a.
181. Waraqah bin Iyas bin Ghanam r.a.
182. Amru bin Iyas r.a.
183. Al-Mujazzar bin Ziyad bin Amru r.a.
184. ‘Ubadah bin al-Khasykhasy r.a.
185. Nahhab bin Tha’labah bin Khazamah r.a.
186. Abdullah bin Tha’labah bin Khazamah r.a.
187. Utbah bin Rabi’ah bin Khalid r.a.
188. Abu Dujanah Sima’ bin Kharasyah r.a.
189. Al-Munzir bin Amru bin Khunais r.a.
190. Abu Usaid bin Malik bin Rabi’ah r.a.
191. Malik bin Mas’ud bin al-Badan r.a.
192. Abu Rabbihi bin Haqqi bin Aus r.a.
193. Ka’ab bin Humar al-Juhani r.a.
194. Dhamrah bin Amru r.a.
195. Ziyad bin Amru r.a.
196. Basbas bin Amru r.a.
197. Abdullah bin Amir al-Ba’lawi r.a.
198. Khirasy bin al-Shimmah bin Amru r.a.
199. Al-Hubab bin al-Munzir bin al-Jamuh r.a.
200. Umair bin al-Humam bin al-Jamuh r.a.
201. Tamim (maula Khirasy bin al-Shimmah) r.a.
202. Abdullah bin Amru bin Haram r.a.
203. Muaz bin Amru bin al-Jamuh r.a.
204. Mu’awwiz bin Amru bin al-Jamuh r.a.
205. Khallad bin Amru bin al-Jamuh r.a.
206. ‘Uqbah bin Amir bin Nabi bin Zaid r.a.
207. Hubaib bin Aswad r.a.
208. Thabit bin al-Jiz’i r.a.
209. Umair bin al-Harith bin Labdah r.a.
210. Basyir bin al-Barra’ bin Ma’mur r.a.
211. Al-Tufail bin al-Nu’man bin Khansa’ r.a.
212. Sinan bin Saifi bin Sakhr bin Khansa’ r.a.
213. Abdullah bin al-Jaddi bin Qais r.a.
214. Atabah bin Abdullah bin Sakhr r.a.
215. Jabbar bin Umaiyah bin Sakhr r.a.
216. Kharijah bin Humayyir al-Asyja’i r.a.
217. Abdullah bin Humayyir al-Asyja’i r.a.
218. Yazid bin al-Munzir bin Sahr r.a.
219. Ma’qil bin al-Munzir bin Sahr r.a.
220. Abdullah bin al-Nu’man bin Baldumah r.a.
221. Al-Dhahlak bin Harithah bin Zaid r.a.
222. Sawad bin Razni bin Zaid r.a.
223. Ma’bad bin Qais bin Sakhr bin Haram r.a.
224. Abdullah bin Qais bin Sakhr bin Haram r.a.
225. Abdullah bin Abdi Manaf r.a.
226. Jabir bin Abdullah bin Riab r.a.
227. Khulaidah bin Qais bin al-Nu’man r.a.
228. An-Nu’man bin Yasar r.a.
229. Abu al-Munzir Yazid bin Amir r.a.
230. Qutbah bin Amir bin Hadidah r.a.
231. Sulaim bin Amru bin Hadidah r.a.
232. Antarah (maula Qutbah bin Amir) r.a.
233. Abbas bin Amir bin Adi r.a.
234. Abul Yasar Ka’ab bin Amru bin Abbad r.a.
235. Sahl bin Qais bin Abi Ka’ab bin al-Qais r.a.
236. Amru bin Talqi bin Zaid bin Umaiyah r.a.
237. Muaz bin Jabal bin Amru bin Aus r.a.
238. Qais bin Mihshan bin Khalid r.a.
239. Abu Khalid al-Harith bin Qais bin Khalid r.a.
240. Jubair bin Iyas bin Khalid r.a.
241. Abu Ubadah Sa’ad bin Uthman r.a.
242. ‘Uqbah bin Uthman bin Khaladah r.a.
243. Ubadah bin Qais bin Amir bin Khalid r.a.
244. As’ad bin Yazid bin al-Fakih r.a.
245. Al-Fakih bin Bisyr r.a.
246. Zakwan bin Abdu Qais bin Khaladah r.a.
247. Muaz bin Ma’ish bin Qais bin Khaladah r.a.
248. Aiz bin Ma’ish bin Qais bin Khaladah r.a.
249. Mas’ud bin Qais bin Khaladah r.a.
250. Rifa’ah bin Rafi’ bin al-Ajalan r.a.
251. Khallad bin Rafi’ bin al-Ajalan r.a.
252. Ubaid bin Yazid bin Amir bin al-Ajalan r.a.
253. Ziyad bin Lubaid bin Tha’labah r.a.
254. Khalid bin Qais bin al-Ajalan r.a.
255. Rujailah bin Tha’labah bin Khalid r.a.
256. Atiyyah bin Nuwairah bin Amir r.a.
257. Khalifah bin Adi bin Amru r.a.
258. Rafi’ bin al-Mu’alla bin Luzan r.a.
259. Abu Ayyub bin Khalid al-Ansari r.a.
260. Thabit bin Khalid bin al-Nu’man r.a.
261. ‘Umarah bin Hazmi bin Zaid r.a.
262. Suraqah bin Ka’ab bin Abdul Uzza r.a.
263. Suhail bin Rafi’ bin Abi Amru r.a.
264. Adi bin Abi al-Zaghba’ al-Juhani r.a.
265. Mas’ud bin Aus bin Zaid r.a.
266. Abu Khuzaimah bin Aus bin Zaid r.a.
267. Rafi’ bin al-Harith bin Sawad bin Zaid r.a.
268. Auf bin al-Harith bin Rifa’ah r.a.
269. Mu’awwaz bin al-Harith bin Rifa’ah r.a.
270. Muaz bin al-Harith bin Rifa’ah r.a.
271. An-Nu’man bin Amru bin Rifa’ah r.a.
272. Abdullah bin Qais bin Khalid r.a.
273. Wadi’ah bin Amru al-Juhani r.a.
274. Ishmah al-Asyja’i r.a.
275. Thabit bin Amru bin Zaid bin Adi r.a.
276. Sahl bin ‘Atik bin al-Nu’man r.a.
277. Tha’labah bin Amru bin Mihshan r.a.
278. Al-Harith bin al-Shimmah bin Amru r.a.
279. Ubai bin Ka’ab bin Qais r.a.
280. Anas bin Muaz bin Anas bin Qais r.a.
281. Aus bin Thabit bin al-Munzir bin Haram r.a.
282. Abu Syeikh bin Ubai bin Thabit r.a.
283. Abu Tolhah bin Zaid bin Sahl r.a.
284. Abu Syeikh Ubai bin Thabit r.a.
285. Harithah bin Suraqah bin al-Harith r.a.
286. Amru bin Tha’labah bin Wahb bin Adi r.a.
287. Salit bin Qais bin Amru bin ‘Atik r.a.
288. Abu Salit bin Usairah bin Amru r.a.
289. Thabit bin Khansa’ bin Amru bin Malik r.a.
290. Amir bin Umaiyyah bin Zaid r.a.
291. Muhriz bin Amir bin Malik r.a.
292. Sawad bin Ghaziyyah r.a.
293. Abu Zaid Qais bin Sakan r.a.
294. Abul A’war bin al-Harith bin Zalim r.a.
295. Sulaim bin Milhan r.a.
296. Haram bin Milhan r.a.
297. Qais bin Abi Sha’sha’ah r.a.
298. Abdullah bin Ka’ab bin Amru r.a.
299. ‘Ishmah al-Asadi r.a.
300. Abu Daud Umair bin Amir bin Malik r.a.
301. Suraqah bin Amru bin ‘Atiyyah r.a.
302. Qais bin Mukhallad bin Tha’labah r.a.
303. Al-Nu’man bin Abdi Amru bin Mas’ud r.a.
304. Al-Dhahhak bin Abdi Amru r.a.
305. Sulaim bin al-Harith bin Tha’labah r.a.
306. Jabir bin Khalid bin Mas’ud r.a.
307. Sa’ad bin Suhail bin Abdul Asyhal r.a.
308. Ka’ab bin Zaid bin Qais r.a.
309. Bujir bin Abi Bujir al-Abbasi r.a.
310. ‘Itban bin Malik bin Amru al-Ajalan r.a.
311. ‘Ismah bin al-Hushain bin Wabarah r.a.
312. Hilal bin al-Mu’alla al-Khazraj r.a.
313. Oleh bin Syuqrat r.a. (khadam Nabi s.a.w.)

Ya Allah, himpunkanlah kami bersama mereka di akhirat kelak. Aameen.

Tuesday, June 7, 2016

IMAM SHAMIL: SEJARAH PEMIMPIN ISLAM DI ASIA TIMUR


Chechen dan Dagestan merupakan kawasan bergolak sejak 
sekian lama dahulu. Pertumpahan darah sering sahaja berlaku 
di bumi bertuah ini sejak tentera Rusia menceroboh masuk 
sekitar abad ke 18 lagi. Namun, Chechnya dan Dagestan 
tidak pernah sunyi daripada pejuang-pejuang kebenaran 
yang terdiri dari anak watannya.

Perjuangan dan jihad untuk membebaskan Chechnya dan 
Dagestan dari cengkaman puak kuffar Rusia yang dipimpin 
tentera –tentera Tsar telah dimulakan oleh Imam Ghazi 
Muhammad Ismail al Gimruni dan diikuti Imam Hamzah 
Bek ibnu Ali Iskandar Bek al Hutsali. Kemudian ianya 
diteruskan oleh Imam Shamil, pemimpin agung yang 
berasal dari daerah Caucasus.

Kehidupan Awal

Imam Shamil dilahirkan pada tahun 1212H / 1796/97 M di
Caucasus, sebuah daerah di Chechnya yang bersempadanan 
dengan Turki. Bapanya bernama Dengaw Muhammad, 
seorang zahid manakala ibunya adalah kerabat kepada 
keluarga bangsawan Ghazi Ghumuq yang berasal dari 
Ashilta.
Sewaktu bayinya beliau diberi nama Ali, tetapi kerana keadaan 
kesihatannya yang kritikal, nama tersebut ditukar kepada 
Shamuyil ( disebut Shamil mengikut dialek Caucusas ). 
Setelah pulih dari penyakitnya , Imam Shamil membesar 
dengan perawakan yang mengkagumkan.
Ketinggiannya adalah luar biasa sehingga mencapai enam 
kaki lebih ( sekitar dua meter tinggi ) dengan tubuh yang 
tegap dan sasa.
Sememangnya Imam Shamil dianugerahkan oleh Allah 
kelebihan semulajadi sebagai seorang pahlawan dan 
pemimpin umat. Keperkasaannya hamper tidak dapat 
ditandingi oleh pemuda-pemuda lain zamannya.
Begitu juga dengan kemahirannya menggunakan senapang 
berlaras panjang ( musket ), pedang dan badik serta 
merupakan seorang penunggang kuda yang terhebat 
didaerahnya.
Imam Shamil turut memiliki ciri-ciri seorang pemimpin yang 
baik. Beliau merupakan seorang yang terpelajar, mempunyai
 keazaman yang tinggi , disiplin diri yang ketat, 
ketabahan yang jitu dan mampu mengawal dirinya 
dari bisikan dunia.

Pendidikan

Sejak kecil lagi Imam Shamil telah menjalinkan hubungan 
yang rapat dengan Imam Ghazi Muhammad ( 1790 / 1823 ). 
Melalui rakannya ini, beliau diperkenalkan kepada pengjaran 
agama. Mereka bersama-sama menuntut ilmu agama dari 
Said al Harakani, seorang ulama besar masa itu.
Mereka turut mengikuti ajaran tareqat Naqsyabandiah dari 
Syaikh Sayyid Jamaluddin sebagi murshid dan dibimbing 
serta dibentuk sebagai khalifah atau imam oleh Syaikh 
Muhammad al Yaraghi.
Apabila shabat karibnya, Ghazi Muhammad melibatkan diri 
dalam arena politik dan kemudiannya menjadi pemimpin 
( imam ) pertama Dagestan. Imam Shamil tidak turut serta 
tetapi meneruskan pengajiannya di bawah bimbingan 
Syaikh Jamuluddin. Setelah beberapa lama barulah Imam 
Shamil menceburkan diri ke kancah politik Negara dan 
berkhidmat sebagai panglima perang kepada Imam Ghazi 
Muhammad. Beliau kemudiannya menyertai beberapa 
misi jihad termasuk peperangan Gimrah pada tahun 1832 
yang menyaksikan syahidnya Imam Ghazi Muhammad dan 
para syuhada yang lain.
Pertempuran di Gimrah sungguh memilukan. Moshe 
Gammer di dalam bukunya “ Muslim Resistance to the Tsar “
 menyifatkan hanya dua orang sahaja dari tentera Islam yang 
tidak menemui ajal, yang mana salah seorangnya ialah 
Imam Shamil.
Setelah sembuh dari luka-luka yang amat parah
 ( ramai penduduk sekitar menyangka kecederaannya 
akan membawa maut ) . Imam Shamil terus sahaja 
melapor diri untuk berkhidmat di bawah Hamzah Bek, 
Imam kedua Chechnya dan Dagestan.
Beliau amat dipercayai oleh Imam Hamzah Bek. Imam 
kedua ini telah melantik Imam Shamil sebagai Gabenor 
bagi wilayah Hindal bersama-sama dengan beberapa 
gabenor lainnya yang berkuasa di daerah asal masing-masing 
seperti Said al Ihall, Ghazi Yo al Karati, Qibid Muhammad 
al Tiliqi dan Abdul Rahman al Qarakhi.
Pada 19 September 1843, sampai kepada Imam Shamil 
berita kematian Imam Hamzah Bek yang dibunuh ketika 
memasuki masjid Khunzakh untuk mengimamkan solat 
Jumaat. Motif pembunuhannya dikenal pasti sebagai 
menuntut bela yang
 dilakukan puak Khan Khunzah setelah terpedaya dengan 
propaganda yang dimainkan tentera Rusia.
Imam Shamil kemudiannya memanggil satu perjumpaan 
para ulama dan pembesar –pembesar Negara sekembali 
dari Hutsal ( pusat pemerintahan Imam Hamzah ) untuk 
memilih pemimpin baru. Para ahli majlis syura tersebut 
tidak ragu-ragu lagi telah memilih beliau sebagai Imam Ketiga.
Bagaimanapun, cadangan tersebut telah ditolak oleh Imam 
Shamil dan beliau sendiri mencadangkan beberapa calon 
yang menurutnya lebih berkelayakan. Tetapi ahli syura , 
terutamanya Sayyid Jamaluddin seorang ulama agung dari
 Dagestan, berkeras untuk tetap melantik Imam Shamil.
Akhirnya, setelah sidang syura hamper berputus asa. 
Imam Shamil menyatakan kesanggupan dengan hati 
yang berat. Para perwakilan merasa amat gembira dengan 
keputusan tersebut lantas dengan segera memberikan bai’ah 
( kesetiaan dan ketaatan ) mereka kepada Imam ketiga yang 
begitu mashyur dalam sejarah sebagai seorang mujahid dan 
mujadid yang soleh dan agung.

Struktur Kenegaraan Imam Shamil

Setelah dilantik menjadi pemimpin utama pada hujung tahun 
1834, Imam Shamil memerintah Chechnya dan Dagestan 
melalui jentera pemerintahan yang cekap berbanding 
sebelumnya. Hieraki pentadbiran diketuai oleh beliau 
sebagai Imam, meliputi urusan duniawi dan keagamaan 
termasuk di bidang perundangan dan kehakiman.
Imam Shamil memakai gelaran Amirul Mukminin. Beliau 
menganggap dirinya bukanlah sebagai pemimpin yang 
mempunyai kuasa yang mutlak tetapi hanya sebagai 
pelaksana syariah Allah dimuka bumi.
Beliau bersungguh-sungguh melaksanakan syariah 
di setiap pelusuk Chechnya dan Dagestan. Segala yang 
dilakukannya tertakluk di bawah dasar keimanan dan 
tanggung jawab. Beliau amat berpegang kuat kepada 
prinsip perundangan dan cara hidup islam di dalam 
pemerintahnnya.
Sebuah badan ditubuhkan untuk membantu beliau 
menjalankan urusan harian dikenali sebagai Diwan. 
Badan ini turut bertindak sebagai penasihat dan pemantau 
kepada keputusan kerajaan. Disetiap daerah pula dilantik 
naib Imam atau gabenor. Pada tahun 1856 terdapat 
seramai 33 naib Imam diseluruh Chechnya dan Dagestan.
Semasa pemerintahan Imam Shamil tentera merupakan 
kakitangan kerajaan yang terpenting. Disebabkan oleh 
perjuangan untuk membebaskan tanah tumpah darah 
mereka dari cangkaman Rusia durjana, hanya sebilangan 
kecil anggota masyarakat yang teridi dari pedagang , 
pengusaha dan ejen-ejen ekonomi lainnya dikecualikan 
dari menyertai tentera.
Imam Shamil berusaha membentuk sebuah pasukan 
yang berdisiplin dan berkualiti. Naib Imam dan para 
komander tentera perlu memastikan bahawa setiap lelaki 
diluar lingkungan usia 15 ke 50 tahun menyertai pasukan 
tentera. Peralatan perang seperti senjata api , peluru , 
kuda malah pakaian dan bekalan makanan juga perlu dipastikan
 mencukupi bagi keperluan anggota tentera.

Urusan kewangan Negara dikendalikan oleh Baitul Mal 
yang memobilasasikan segala sumber Negara. Terdapat 
dua sumber utama kekayaan Negara ketika itu, pertamanya
 zakat dan kharaj, manakala sumber keduanya dari harta 
rampasan perang di mana 1/5 ( khumus ) diperuntukkan 
untuk Negara atau maslahah umum dan bakinya (4/5 ) adalah 
hak tentera yang berjuang.
Selain sumber yang berasaskan hokum syarakdi atas terdapat 
juga hasil lain yang dikutip oleh Baitul Mal . Contohnya , 
harta individu yang telah meninggal dunia tetapi tidak 
meninggalkan seorang waris atau denda yang dibayar 
rakyat dan sumber lainnya atas kapasiti sebagai kerajaan 
yang memerintah.
Imam Shamil amat berhati-hati dalam membelanjakan 
sumber Negara ini. Perbelanjaan bagi setiap sumber dibuat
 dengan penuh teliti agar tidak menyimpang dari 
kehendak syarak. Untuk itu, setiap aliran keluar masuk 
kewangan Negara direkod menggunakan akaun 
yang berasingan.
Sebagai contoh, sumber yang diperolehi dari khumus 
dibelanjakan untuk kepentingan tentera dan peperangan 
menentang Rusia. Sementara sumber zakat untuk 
kepentingan syiar agama, pendidikan dan lainnya 
yang dikendalikan sekumpulan ulama.

Kesan yang amat jelas dalam pemerintahan Imam Shamil 
ialah pelaksanaan hokum dan nilai-nilai Islam yang subur 
di seluruh Caucasus. Beliau menentang adat yang 
bertentangan dengan ajaran agama yang diwarisi 
dari budaya Rusia.

Bagi Imam Shamil segala budaya sesat ini adalah perbuatan 
bid’ah yang wajib dihapuskan. Penjualan minuman keras 
diharamkan , para wanita digalakkan memaikai pakaian 
yang sopan dan wajib menutup aurat, muzik hanya dibenarkan
 pada keadaan tertentu seperti majlis perkahwinan.
Setiap lelaki muslim dimestikan hadir ke masjid pada 
tengah hari jumaat untuk menunaikan solat, puasa 
adalah wajib bagi setiap individu muslim di bulan 
Ramadhan dan pentadbiran kerajaan perlu bersesuaian 
dengan kehendak syarak dan berfungsi 
mengembangkannya kepada masyarakat awam.
Perlaksanaan perundangan Islam di Chechnya dan 
Dagestan di bawah tunjuk ajar Imam yang mulia ini 
benar-benar mengkagumkan. Malahan, pihak Rusia 
sendiri terpesona dengan perubahan moral sebilangan 
besar masyarakat terutamanya bangsa Chechen.

Kegiatan Jihad

Tindakan pertama yang di ambil oleh Imam Shamil setelah di 
Bai’ah ialah untuk membawa pembunuh Imam 
Hamzah Bek , Bulach Khan ke muka pengadilan.
Dalam perjalanan ke Khunzakh, sampai berita yang 
mengatakan bahawa tentera Rusia sedang menyerang 
Gimrah.
Tentera Rusia yang dipimpin oleh Major – General Lanskoi 
telah memusnahkan perkampungan tersebut pada 27 
september. Imam Shamil segera berpatah balik ke Gimrah.
 Beliau dengan segera melancarkan serangan balas dari 
segenap penjuru dalam usaha membebeaskan semula 
Gimrah. Beliau juga menjatuhkan hukuman mati kepada 
seorang penduduk Gimrah yang bertindak sebagai 
pemberi maklumat kepada tentera Rusia.
Kemudian termetrai perjanjian damai buat sementara waktu 
di antara pihak Imam Shamil dan Rusia termasuk para 
pemberontak seperti kumpulan klugenau. Bagaimanapun 
dalam tempoh ini 
Imam Shamil ditentang pula oleh naib-naib Imam di 
zaman Imam Hamzah seperti Haji Tasho dan Qibid 
Muhammad yang tidak mengiktiraf pemerintahannya.
Mereka pula melancarkan pemberontakan tetapi diwaktu 
inilah Imam Shamil memperlihatkan kualiti dirinya sebenar. 
Dalam keadaan yang amat terdesak begitu, Imam Shamil 
Berjaya menukar suasana yang tidak berpihak kepadanya 
menjadi pemangkin kejayaannya.
Pada keseluruhan tahun 1835 tersebut, Imam Shamil muncul 
sebagai idola kepada umat Islam dengan gaya hidupnya yang 
sederhana , warak dan sering tenggeelam di dalam penghayatan 
al -Quran.
Namun, pemberontakan tidak terhenti begitu sahaja tetapi 
Berjaya dipatahkan pada pertengahan tahun 1836, yang mana 
waktu itu Imam Shamil telah dibantu oleh naib-naib yang 
gagah perkasa dan amat setia seperti Surkhay al Kulawi, 
Ali Bek al Khunzakhi dan Akhbirdi Muhammad al khunzakhi.
Pada tahun 1837 berlaku pula pertempuran di antara tentera 
jihad Imam Shamil dengan pihak Rusia yang dipimpin oleh 
Karl Faesy di bawah arahan Rosen di Tiliq. Pada tahun 1839 
mereka bertempur lagi di Akhulgoh. Kali ini tentera Rusia 
dipimpin oleh Grabbe, seorang panglima tentera yang 
sangat keras dan kejam.
Dalam peperangan ini anak Imam Shamil , Jamaluddin telah 
ditawan oleh Rusia agar beliau menyerah diri. Namun 
begitu, mujahid ulung ini sekali-kali tidak akan menyerah diri. 
Beliau meneruskan perjuangannya demi membebaskan 
tanahairnya dari cengkaman kuffar laknatullah.
Pada tahun 1853, Imam Shamil mengutuskan kepada 
khalifah Uthmaniyyah, Abdul Majid ( sebelumnya telah 
hamper 15 tahun Imam Shamil merayu pertolongan dari 
Kerajaan Uthmaniyyah ) kerana mereka berada di dalam 
keadaan yang amat sukar untuk meneruskan perjuangan 
setelah berperang menentang Rusia dengan begitu hebat 
selama tujuh tahun. Walaupun semangat juang para mujahidin 
tidak luntur sedikit pun tetapi mereka dilanda kebuluran dan 
keletihan yang amat sangat. Namun begitu, mereka masih
 nekad. Pada 5 September, Imam Shamil mengetuai 
serangan di Zakartalah.
Kemudian pada 17 September mereka mara ke kubu Rusia 
di Mased al Kher dan melancarkan serangan terhadap 
pasukan yang siap bersedia menghantar bantuan kepada 
pasukan Orbeliani di Zakartalah. Mesej serangan pasukan 
Imam Shamil adalah jelas iaitu untuk mara ke Tiflis dan 
bersatu dengan pasukan tentera Uthmaniah. Malangnya 
moral pasukan Uthmaniyyah telah runtuh setelah ditewaskan 
di Colok, Cengel dan Kurudere. Oleh itu, Imam Shamil telah 
bertindak sendirian. Pasukannya telah menyerang Alazan 
Valley pada penghujung September 1854 dan Berjaya 
menawan permaisuru Tchavtchavadze dan beberapa 
orang kerabatnya di dalam peperangan yang dikenali 
sebagai Crimean War. 
Kemenangan ini telah menaikkan imej Imam Shamil bukan 
sahaja di kalangan tentera Uthmaniyyah tetapi juga di 
mata tentera British dan Perancis. Malah anaknya , 
Jamaluddin, yang ditawan turut dikembalikan tetapi 
hayatnya tidak lama ekoran kesihatan yang buruk akibat
 diracun oleh pihak Rusia sebelum proses pertukaran 
tahanan dilaksanakan.
Nikolai Muravev yang mengantikan Voronstov sebagai 
ketua tentera Rusia amat berang dengan kekalahan 
yang memalukan ini. Dia langsung tidak berminat dengan 
perdamaian yang ditawarkan oleh pihak Uthmaniyyah.
 Di bawah arahan Tsar alexenderII, pihak Rusia telah 
mengumpulkan seramai 200,000 tentera di Caucasus 
untuk menghapuskan Imam Shamil dan pasukan jihadnya . 
Beberapa episode perang pun meletus di antara kedua-dua 
belah pihak. Kemuncak peperangan ini berlangsung di 
pergunungan Ghunib pada tahun 1859. Rusia Berjaya 
mendapat kuasa dalam peperangan ini.Imam Shamil 
akhirnya dipujuk supaya menyerahkan diri demi menyelamatkan
 nyawa kanak-kanak dan para wanita Chechnya. 
Peristiwa malang ini terjadi pada 6 September 1859.
Pada tahun 1864, para pejuang Chechen sekali lagi 
menerima tamparan hebat. Setelah melalui rentetan 
misi jihad yang berliku dan perjuangan berdarah untuk 
membebaskan tanahair mereka . Tsar Rusia Berjaya 
jua memaksakan kekuasaannya kepada mereka. 
Imam Shamil telah ditawan dan dibawa ke St. Petersburg 
dari Ghunib untuk dihadapkan kepada Tsar Alexender II. 
Kemudian beliau dikenakan tahanan rumah bersama 
keluarganya di Kaluga, terletak dibarat daya Moscow , 
yang diibaratkan sebagai sangkar emas. 
Pada tahun 1866, beliau dibenarkan ke Kiev dan dua tahun 
kemudiannya ke Makkah untuk mengerjakan haji. Imam 
yang mulia ini menghembuskan nafasnya yang terakhir 
pada tahun 1871 dan dikebumikan di Madinah. Semoga 
rohnya dicucuri rahmat oleh Allah s.w.t. Bagaimanapun, 
perjuangan Imam Shamil tidak mati begitu sahaja. 
Anak-anaknya , Ghazi Muhammad dan Kamil muncul 
sebagai mujahid yang terbilang. Malah cucunya, 
Said Samil meneruskan jihad menentang Rusia di 
Dagestan sekitar tahun 1920-an.
Kita menyakini sejarah perjuangan jihad Imam Shamil dan 
pengikut-pengikutnya yang benar-benar member suntikan 
moral kepada setiap pejuang dan gerakan islam yang 
ditindas, diwarisi terutamanya oleh rakyat Chechnya dan 
Dagestan yang sedang berjihad menentang Rusia 
laknatullah ketika ini, yang secara kebetulannya dipimpin 
oleh seorang yang bernama Shamil juga iaitu 
Panglima Shamil Basayev.

Sumber: http://syeikh-husna.blogspot.my